daun

Minggu, 12 Oktober 2014

Tujuh Puncak Yang Berbalut Mitos


KUDUS-Desa Rahtawu, Kecamatan Gebog, Kudus, paling mudah (dan satu-satunya akses) dijangkau dari Desa Menawan,Gebog, yang terdapat di (bawah) selatannya. Mobil dan bahkan truk ukuran kecil (engkel) bisa melewati jalan tersebut.
Namun, terutama saat berpapasan dengan truk, mobil kecil seperti sedan atau mobil jenis MPV, harus ekstrahati-hati. Salah satu ban kendaraan yang berpapasan, apalagi bila kebetulan di tikungan, harus turun ke berm (badan jalan yang tak beraspal).
Tak sedang berpapasan pun, pengemudi harus dalam kosentrasi penuh. Jurang menganga yang kedalamannya ada yang sampai sekitar 300 meter di timur ruas jalan, tentunya bisa menjadi sesuatu problem yang sangat rawan. Ada pun di barat jalur tersebut, berjajar tebing terjal dengan kemiringan hingga 90 derajat, yang di beberapa bagian sering longsor saat musim hujan.
Di luar jalan normal, sesungguhnya, untuk mencapai kampung yang 22 kilometer jauhnya dari Kota Kudus itu, ada jalur tikus. Dulu jalur tersebut merupakan trek pasukan gerilya RI Macan Putih dalam perang melawan Belanda (clash 1 dan clash 2).
Jalur ini yakni, bisa dimulai dari Desa Soco, Kecamatan Dawe, yang terdapat di sebelah selatan Rahtawu serta Desa Ternadi (tenggara Rahtawu) yang juga kemudian menyambung dengan trek tikus hingga ke Kajar, Dawe (yang kemudian bertemu dengan jalur Kudus-Colo Gunung Muria).
Namanya saja jalur tikus, sudah barang tentu jalur tersebut hanya bisa dilalui dengan jalan kaki. Namun, dalam perkembangannya, sudah sekitar 1,5 tahun ini, jalur bersangkutan digunakan para peminat olahraga sepeda motor jenis trail untuk olahraga terabas.
Berpagar Gunung
Wilayah Rahtawu, bagai terdapat di area cekungan. Dari selatan ke utara serta timur ke barat, tapal batas wilayahnya secara administratif maupun dalam posisi geografis, seperti “berpagar” puncak gunung. Di beberapa bagian puncak atau tebing pagar desa itulah, yang seringkali longsor ketika diguyur hujan lebat.
“Puncak atau gunung tersebut ada tujuh, yakni Sapto Argo, Atas Angin, Kukusan, Puncak Sangalikur, Sapto Renggo, dan Ngiring-ngiring,’’ kata Kamituwa Rahtawu, Sugiarto. Di sebelah barat puncak Atas Angin dan utara Puncak Sangalikur, merupakan wilayah Kabupaten Jepara.
Dari tujuh puncak tersebut, mengalir banyak sungai yang merupakan sungai percabangan (anak sungai) Sungai Gelis. Karena itu,tak mengherankan bila terjadi longsor di puncak atau gunung bersangkutan, dapat dipastikan Sungai Gelis yang merupakan alur kali induknya, akan terjadi banjir.
Untaian puncak, jurang, dan sungai itu pada sisi lain “menciptakan” cerita legenda dan mitos. Entah siapa yang memulai, sehingga keadaannya bisa seperti sekarang, mitologi dan legenda di Rahtawu pada satu sisi menjadi semacam “magnet”. Memiliki daya tarik kepada banyak orang, dengan berbagai tujuan dan kepentingannya.
Jejak atau simbol mitologi tersebut, menurut tokoh masyarakat Sutrisno Kr, Kamituwa Sugiarto, serta Carik Sungkono, terdapat di banyak lokasi. Dari yang dekat dengan pusat desa dan mudah dijangkau, hingga yang belasan kilometer jauhnya dan harus ditempuh dengan merayap tebing berkemiringan 80 derajat.
Salah satu petilasan yang berupa punden, yakni Punden Lokosari yang berukuran 4x6 meter yang terdapat di RT 03 RW 2 amblas dan kemudian roboh diterjang longsor pada 21 Januari lalu. Pada musim kemarau berkepanjangan belasan tahu lalu, Puncak Sangalikur dan Abiyoso hangus dijilat api. Tak hanya longsor saat musim hujan.
Bambu Trembelang
Dalam konteks mitos dan legenda itulah, tiap berlangsung pergantian tahun baru jawa (syuro), ribuan orang dari Kudus, Jepara, Pati, Demak, Grobogan, Kendal, dan sebagian dari Solo dan sekitarnya, menyempatkan datang ke Rahtawu. Dan, mereka mendaki hingga ke Puncak Sangalikur. Di samping juga, tradisi sedekah bumi yang dilangsungkan pada bulan Apit.
Ketiga tokoh warga itu dan juga penduduk setempat meyakini, Puncak Sangalikur merupakan petilasan (lokasi atau jejak pertapaan) sejumlah tokoh yang digambarkan/diceriterakan dalam pewayangan. Antara lain Puntadewa, Nakula Sadewa, Sang Hyang Wenang, Manik Manumayasa, dan Ismaya.
Entah karena adanya petilasan dan legenda yang berkait dengan tokoh wayang tersebut atau sebab lainnya, di Rahtawu pantang menanggap pergelaran wayang. Warga masyarakat meyakini, bila ada yang nekat menanggap wayang, maka akan datang mara bahaya. Sebagai gantinya, warga yang punya hajat kebanyakan menanggap seni Tayub.
Petilasan yang dipercayai dan hingga kini digunakan warga masyarakat dalam bertapa untuk berbagai tujuan tersebut, juga tersebar di beberapa puncak atau tempat lainnya.
Petilasan yang tersebar di banyak tempat itu, ada yang berujud bangunan cungkup (beratap) makam, batu-batu besar, dan pusara. Tak jarang ada orang manganan (membawa makanan tertentu) untuk dimakan bersama di situ, setelah terlebih dulu mereka memanjatkan doa-doa (dan mantera?).
Sejumlah pejabat karier serta pejabat publik tak sedikit yang datang dan mengikuti warga kebanyakan yang memercayai petilsan-petilasan tersebut memiliki dan bisa mendatangkan kekuatan, sehingga mempermudah mereka mendapat apa yang diinginkan. Misalnya dengan mandi di sumber/mata air Tieng, yang terapat di bawah mata air Bunton (mata air utama/yang paling tinggi lokasinya dari Sungai Gelis).
Di luar legenda dan mitos-mitos tersebut, juga ada mitologi yang berujud kebendaan dan kasat mata. Adalah ruas bambu yang di dalamnya berisi air, Pring Trembelang namanya. Air yang terdapat di dalam ruasan bambu ini, diyakini mengandung banyak khasiat dalam konteks penyembuhan penyakit fisiologis maupun penyakit di luar medis.
‘’Pring Trembelang tak mudah didapat. Adanya di ketinggian puncak atau jurang, yang banyak di sekitar Puncak Sangalikur. Dalam satu dapur (rumpun) bambu, paling yang merupakan Pring Trembelang dua hingga lima batang. Dan, dari bambu ini, yang merupakan Pring Trembelang hanya dua sampai tiga ruas,’’ ungkap Sutrisno.
Mungkin karena faktor tingkat kesulitan dalam memperoleh, Pring Trembelang harganya tak ada pasarannya. Bisa sangat mahal, ketika orang yang hendak membelinya sangat membutuhkannya. (Yit/Hoery-Portal)
Longsor dan Banjir Bandang Besar di Rahtawu
Tahun 1964
Longsor 6 rumah roboh, 6 orang hilang, 12 orang meninggal
Tahun 1993
Banjir Bandang Arus Sungai Gelis melompati jembatan yang berketinggian 7 meter dari dasar sungai, di dekat petilasan Eyang Sakri
Tahun 2001
Tahun 2001
Banjir bandang Sungai Gelis meluap, menjungkalkan jembatan di dekat petilasan Eyang Sakri
Tahun 2014 (20 Januari – 24 Januari)
Longsor dan banjir bandang 16 rumah hanyut, terkubur, roboh rata tanah, 21 rumah rusak berat dan ringan, dua mushala roboh, satu punden (makam keramat) roboh. 1 jembatan hanyut, dua ruas jalan putus di tiga titik, longoran menutup jalur utama Kudus – Rahtawu di Dukuh Gingsir 
(Sumber Wawancara, diolah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar