daun

Minggu, 12 Oktober 2014

Larangan Menyembelih Sapi Pada Hari Raya Kurban Di Kudus, Mengapa?



Bagi masyarakat muslim, khususnya umat muslim di Indonesia, merayakan hari raya tak lengkap rasanya jika tak menghidangkan sajian istimewa. Mulai dari ketupat, opor ayam, rendang dan aneka macam olahan daging lainnya. Apalagi, saat hari raya Idul Adha tiba. Hampir seluruh umat muslim menikmati aneka masakan dari daging kurban.

Berbicara tentang hari raya, khususnya hari raya Idul Adha, ada sebuah mitos unik yang berlaku bagi masyarakat Kota Kudus. Di beberapa daerah Indonesia, saat hari raya Idul Fitri atau Idul Adha menyembelih hewan sapi adalah hal yang lumrah. Tapi, tidak demikian bagi warga Kudus. Pasalnya, menyembelih Sapi bagi masyarakat Kudus adalah hal yang dilarang. Mengapa demikian?

Sapi Sebagai Simbol Agama Hindu

Jauh sebelum Islam datang, kota Kudus dahulu hanyalah sebuah hutan belantara yang tidak berpenghuni. Namun, setelah muncul kerajaan Majapahit dan Kudus menjadi bagian dari wilayah Majapahit, satu persatu orang mulai datang ke hutan itu dan bermukim di sana.

Majapahit merupakan salah satu kerajaan Hindu di Pulau Jawa. Jadi, tak heran jika sebelum Islam datang, sebagian besar masyarakat Kudus memeluk agama Hindu dan sebagian lagi memeluk agama Budha. Hal ini bisa dilihat dari bentuk menara Kudus yang merupakan akulturasi dari perpaduan Islam, Hindu dan Budha.





Sebenarnya sebelum Sunan Kudus datang menyebarkan agama Islam di Kota Kudus, wilayah itu sudah dihuni oleh seorang keturunan Tiongkok (Cina) bernama The Ling Sing. Kini, nama The Ling Sing lebih dikenal sebagai Kyai Telingsing dan namanya diabadikan menjadi nama jalan di Kota Kudus. Meski The Ling Sing adalah seorang Cina muslim, bukan berarti etnis Cina di Kudus semuanya beragama muslim. Masyarakat Kudus sangat menjunjung tinggi toleransi beragama. Hal ini terbukti dari keberadaan sebuah klenteng Hok Ling Bio yang berdiri tak jauh dari masjid menara Kudus.

Setelah Sunan  Kudus datang, proses penyebaran Islam di kota ini sangat cepat. Sunan Kudus menggunakan pendekatan struktural yaitu dengan cara mengislamkan penguasa atau ikut terlibat dalam pendirian kekuasaan baru, seperti Kesultanan Demak dan Cirebon. Selain itu, Sunan Kudus juga menggunakan strategi dakwah yang unik. Salah satunya adalah dengan mengikat sapi di halaman masjid.

Dalam kepercayaan umat Hindu, sapi adalah binatang yang sangat dihormati dan dimuliakan. Jadi, saat itu jarang sekali masyarakat Kudus yang memiliki sapi. Sapi hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu yaitu para pemuka agama Hindu. Dengan mengikat seekor sapi bernama Kebo Gumarang di halaman masjid, orang-orang pun berbondong-bondong berdatangan ke masjid. Tujuan awal mereka adalah menghampiri sapi yang langka tersebut. Kemudian, saat orang-orang sudah ramai berkumpul di masjid, Sunan Kudus pun mulai berdakwah dengan memberikan penjelasan tentang surat Al Baqarah yang berarti ‘sapi betina’. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusun secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah.

Meski dalam Islam menyembelih sapi adalah hal yang dihalalkan, tapi untuk menghormati warga Hindu yang tinggal di Kota Kudus saat itu, Sunan Kudus melarang masyarakat Kudus menyembelih sapi. Hingga sekarang masyarakat Kudus masih menghormati larangan itu meski sebagian besar masyarakatnya sudah Islam. Dengan metode dakwah seperti itu, agama Islam dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat Kudus. Hal ini membuktikan bahwa Sunan Kudus lebih mengedapankan toleransi dan harmoni daripada konflik dalam menyiarkan agama Islam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar