KUDUS-Desa
Rahtawu, Kecamatan Gebog, Kudus, paling mudah (dan satu-satunya akses)
dijangkau dari Desa Menawan,Gebog, yang terdapat di (bawah) selatannya. Mobil
dan bahkan truk ukuran kecil (engkel) bisa melewati jalan tersebut.
Namun, terutama saat berpapasan dengan truk, mobil kecil seperti
sedan atau mobil jenis MPV, harus ekstrahati-hati. Salah satu ban kendaraan
yang berpapasan, apalagi bila kebetulan di tikungan, harus turun ke berm (badan
jalan yang tak beraspal).
Tak
sedang berpapasan pun, pengemudi harus dalam kosentrasi penuh. Jurang menganga
yang kedalamannya ada yang sampai sekitar 300 meter di timur ruas jalan,
tentunya bisa menjadi sesuatu problem yang sangat rawan. Ada pun di barat jalur
tersebut, berjajar tebing terjal dengan kemiringan hingga 90 derajat, yang di
beberapa bagian sering longsor saat musim hujan.
Di luar jalan normal, sesungguhnya, untuk mencapai kampung yang 22
kilometer jauhnya dari Kota Kudus itu, ada jalur tikus. Dulu jalur tersebut
merupakan trek pasukan gerilya RI Macan Putih dalam perang melawan Belanda (clash 1
dan clash 2).
Jalur
ini yakni, bisa dimulai dari Desa Soco, Kecamatan Dawe, yang terdapat di
sebelah selatan Rahtawu serta Desa Ternadi (tenggara Rahtawu) yang juga
kemudian menyambung dengan trek tikus hingga ke Kajar, Dawe (yang kemudian
bertemu dengan jalur Kudus-Colo Gunung Muria).
Namanya
saja jalur tikus, sudah barang tentu jalur tersebut hanya bisa dilalui dengan
jalan kaki. Namun, dalam perkembangannya, sudah sekitar 1,5 tahun ini, jalur
bersangkutan digunakan para peminat olahraga sepeda motor jenis trail untuk
olahraga terabas.
Berpagar Gunung
Wilayah Rahtawu, bagai terdapat di area cekungan. Dari selatan ke utara serta
timur ke barat, tapal batas wilayahnya secara administratif maupun dalam posisi
geografis, seperti “berpagar” puncak gunung. Di beberapa bagian puncak atau
tebing pagar desa itulah, yang seringkali longsor ketika diguyur hujan lebat.
“Puncak
atau gunung tersebut ada tujuh, yakni Sapto Argo, Atas Angin, Kukusan, Puncak
Sangalikur, Sapto Renggo, dan Ngiring-ngiring,’’ kata Kamituwa Rahtawu,
Sugiarto. Di sebelah barat puncak Atas Angin dan utara Puncak Sangalikur,
merupakan wilayah Kabupaten Jepara.
Dari
tujuh puncak tersebut, mengalir banyak sungai yang merupakan sungai percabangan
(anak sungai) Sungai Gelis. Karena itu,tak mengherankan bila terjadi longsor di
puncak atau gunung bersangkutan, dapat dipastikan Sungai Gelis yang merupakan
alur kali induknya, akan terjadi banjir.
Untaian
puncak, jurang, dan sungai itu pada sisi lain “menciptakan” cerita legenda dan
mitos. Entah siapa yang memulai, sehingga keadaannya bisa seperti sekarang,
mitologi dan legenda di Rahtawu pada satu sisi menjadi semacam “magnet”.
Memiliki daya tarik kepada banyak orang, dengan berbagai tujuan dan
kepentingannya.
Jejak
atau simbol mitologi tersebut, menurut tokoh masyarakat Sutrisno Kr, Kamituwa
Sugiarto, serta Carik Sungkono, terdapat di banyak lokasi. Dari yang dekat
dengan pusat desa dan mudah dijangkau, hingga yang belasan kilometer jauhnya
dan harus ditempuh dengan merayap tebing berkemiringan 80 derajat.
Salah
satu petilasan yang berupa punden, yakni Punden Lokosari yang berukuran 4x6
meter yang terdapat di RT 03 RW 2 amblas dan kemudian roboh diterjang longsor
pada 21 Januari lalu. Pada musim kemarau berkepanjangan belasan tahu lalu,
Puncak Sangalikur dan Abiyoso hangus dijilat api. Tak hanya longsor saat musim
hujan.
Bambu Trembelang
Dalam konteks mitos dan legenda itulah, tiap berlangsung pergantian tahun baru
jawa (syuro), ribuan orang dari Kudus, Jepara, Pati, Demak, Grobogan, Kendal,
dan sebagian dari Solo dan sekitarnya, menyempatkan datang ke Rahtawu. Dan,
mereka mendaki hingga ke Puncak Sangalikur. Di samping juga, tradisi sedekah
bumi yang dilangsungkan pada bulan Apit.
Ketiga
tokoh warga itu dan juga penduduk setempat meyakini, Puncak Sangalikur
merupakan petilasan (lokasi atau jejak pertapaan) sejumlah tokoh yang
digambarkan/diceriterakan dalam pewayangan. Antara lain Puntadewa, Nakula
Sadewa, Sang Hyang Wenang, Manik Manumayasa, dan Ismaya.
Entah
karena adanya petilasan dan legenda yang berkait dengan tokoh wayang tersebut
atau sebab lainnya, di Rahtawu pantang menanggap pergelaran wayang. Warga
masyarakat meyakini, bila ada yang nekat menanggap wayang, maka akan datang
mara bahaya. Sebagai gantinya, warga yang punya hajat kebanyakan menanggap seni
Tayub.
Petilasan
yang dipercayai dan hingga kini digunakan warga masyarakat dalam bertapa untuk
berbagai tujuan tersebut, juga tersebar di beberapa puncak atau tempat lainnya.
Petilasan
yang tersebar di banyak tempat itu, ada yang berujud bangunan cungkup (beratap)
makam, batu-batu besar, dan pusara. Tak jarang ada orang manganan (membawa
makanan tertentu) untuk dimakan bersama di situ, setelah terlebih dulu mereka
memanjatkan doa-doa (dan mantera?).
Sejumlah
pejabat karier serta pejabat publik tak sedikit yang datang dan mengikuti warga
kebanyakan yang memercayai petilsan-petilasan tersebut memiliki dan bisa
mendatangkan kekuatan, sehingga mempermudah mereka mendapat apa yang
diinginkan. Misalnya dengan mandi di sumber/mata air Tieng, yang terapat di
bawah mata air Bunton (mata air utama/yang paling tinggi lokasinya dari Sungai
Gelis).
Di
luar legenda dan mitos-mitos tersebut, juga ada mitologi yang berujud kebendaan
dan kasat mata. Adalah ruas bambu yang di dalamnya berisi air, Pring Trembelang
namanya. Air yang terdapat di dalam ruasan bambu ini, diyakini mengandung
banyak khasiat dalam konteks penyembuhan penyakit fisiologis maupun penyakit di
luar medis.
‘’Pring
Trembelang tak mudah didapat. Adanya di ketinggian puncak atau jurang, yang
banyak di sekitar Puncak Sangalikur. Dalam satu dapur (rumpun) bambu, paling
yang merupakan Pring Trembelang dua hingga lima batang. Dan, dari bambu ini,
yang merupakan Pring Trembelang hanya dua sampai tiga ruas,’’ ungkap Sutrisno.
Mungkin
karena faktor tingkat kesulitan dalam memperoleh, Pring Trembelang harganya tak
ada pasarannya. Bisa sangat mahal, ketika orang yang hendak membelinya sangat
membutuhkannya. (Yit/Hoery-Portal)
Longsor dan Banjir Bandang Besar di Rahtawu
Tahun 1964
|
Longsor 6 rumah roboh, 6 orang hilang, 12 orang meninggal
|
Tahun 1993
|
Banjir Bandang Arus Sungai Gelis melompati jembatan yang
berketinggian 7 meter dari dasar sungai, di dekat petilasan Eyang Sakri
Tahun 2001
|
Tahun 2001
|
Banjir bandang Sungai Gelis meluap, menjungkalkan jembatan di
dekat petilasan Eyang Sakri
|
Tahun 2014 (20 Januari – 24 Januari)
|
Longsor dan banjir bandang 16 rumah hanyut, terkubur, roboh rata
tanah, 21 rumah rusak berat dan ringan, dua mushala roboh, satu punden (makam
keramat) roboh. 1 jembatan hanyut, dua ruas jalan putus di tiga titik,
longoran menutup jalur utama Kudus – Rahtawu di Dukuh Gingsir
(Sumber Wawancara, diolah)
|